Pasangkayu – Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat lewat Dinas Kesehatan menggelar Lokakarya Peningkatan Kapasitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) dalam Program Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Pasangkayu, Senin, 15 September 2025. Lokakarya ini diikuti 30 peserta dari rumah sakit, klinik, dan dokter praktik mandiri, dengan menghadirkan dua narasumber eksternal.
TBC masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia. Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2024, Indonesia menempati posisi kedua di dunia dengan jumlah kasus TBC terbanyak, mencapai 1,09 juta kasus dengan 125 ribu kematian. Angka itu naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, hingga kini keterlibatan fasilitas kesehatan non-pemerintah dalam program pengendalian TBC masih rendah. Data Maret 2025 mencatat pelaporan TBC didominasi puskesmas (98%), rumah sakit pemerintah (95%), dan rumah sakit swasta (90%). Sebaliknya, kontribusi klinik pemerintah hanya 36% dan klinik/TPMD swasta 26%. Banyak kasus TBC yang sudah terdeteksi di klinik maupun praktik mandiri dokter, tetapi tak tercatat dalam Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB).
Situasi serupa terlihat di Sulawesi Barat. Per Juli 2025, cakupan penemuan kasus (treatment coverage) baru 39% dengan enrollment rate 90%. Capaian penemuan terduga TBC di rumah sakit pemerintah memang mencapai 80%, namun keterlibatan klinik swasta masih di angka 36%.
Lokakarya ini bertujuan mendorong komitmen fasyankes dalam eliminasi TBC. Lima agenda utama digagas: advokasi kepada manajemen rumah sakit, klinik, dan TPMD; meningkatkan penemuan kasus missing cases; membangun skrining internal antar-unit; memperluas jejaring eksternal; serta meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan.
Plt. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, dr. Hj. Nursyamsi Rahim, menegaskan pentingnya keterlibatan sektor swasta.
“Banyak kasus TBC sudah ditemukan di klinik maupun praktik mandiri dokter, tetapi belum tercatat dalam sistem nasional. Ini harus segera diatasi. Kami berharap rumah sakit, klinik, dan dokter praktik mandiri lebih aktif melaporkan kasus. Dengan begitu penemuan akan lebih optimal, skrining seragam, dan akses masyarakat terhadap layanan diagnosis serta pengobatan standar semakin luas,” ujarnya.
Ia menambahkan, lokakarya ini bukan sekadar forum pelatihan, tetapi momentum memperkuat sinergi lintas fasyankes. “Jika sektor publik dan swasta berjalan beriringan, eliminasi TBC bukan hal mustahil,” kata Nursyamsi.

